Tuesday, September 14, 2010

LIFE IS COMPLICATED

Prologue

Hujan deras mengguyur sekujur tubuhnya yang berdiri dengan tegap,menunggu.
Dari jendela rumahku,terlihat jelas,dia menungguku.
Hal ini merupakan hal terakhir yang aku lihat,sebelum semuanya berubah..


1.


Teng.. Teng.. Teng..
Lonceng di sekolah ku berbunyi.
Ehm,agak sedikit kuno yah masih menggunakan lonceng..>.<
Well,aku pun segera bergegas menuju kelas ku.
Oh ya,nama ku Alice.
Sekarang aku duduk di kelas 3 SMA di salah satu sekolah favorit di Paris.
Sudah 3 tahun ini aku tidak pulang lagi ke Jakarta,alasan nya,'ada ujian yang mesti ku hadapi'.
Well,selama 3 tahun aku bersekolah di Paris,tidak ada satupun yang aneh.
Kecuali,seorang laki-laki yang tinggal disebelah apartemen ku.
Selain itu,semuanya baik2 saja.
Aku punya banyak teman dan orang-orang yang menyayangiku.
"Alice!"
Suara Monica membangunkan lamunan ku,"Sadarlah,Monsieur Frank sudah masuk kelas..aku tak mau dirimu terkena masalah,Al".
Monica adalah sahabatku.
Dia baik,cantik,cerdas,kaya,dan dermawan.
Dia adalah teman pertamaku.
"ALICE!!jangan melanjutkan lamunan mu!",Monica berkata dengan kesal.
Aku terkekeh,"Oui,Madame",sahutku sambil mengedipkan mata ke arahnya.
Pelajaran Monsieur Frank adalah pelajaran yang paling tidak kusukai.
Matematika.
Ya,dari sekolah dasar dulu aku paling benci matematika,aku tidak suka angka.
Tiba-tiba,Monsieur Frank memanggilku.
Aku terenyak,kaget.
"Alice,tolong kerjakan soal ini",pintanya.
'Ugh,sial',pikirku,lalu melangkah maju ke depan.
Monsieur Frank menatapku dengan pandangan mengerikan layak nya singa ingin menerkam mangsanya.
Aku pun berhenti memandanginya dan mengerjakan soal yang diberinya itu.
'Sial,aljabar',aku mengeluh.
Aku paling benci aljabar,perpaduan antara angka dan huruf membuatku mual.
Tanpa ku sadari keringatku bercucuran.
Aku gugup,tapi tetap nekat mengerjakan.
Dan akhirnya,setelah 10 menit berkutat dengan 'soal aneh' itu,aku pun dipersilahkan duduk oleh Monsieur Frank.
Jawaban ku benar.
"Kau hebat Al",ucap Monica ketika aku duduk kembali.
"Trims,he..he..he",ucapku sambil terkekeh.
Lalu lonceng pun berbunyi,pelajaran Monsieur Frank selesai sudah.
Kemudian di lanjutkan pelajaran Madame Swan,economic. Pelajaran ini begitu cepat berlalu hingga aku tak menyadari sekarang saatnya istirahat.
'Yeah,tersisa 2 jam pelajaran lagi,dan aku akan pulang',pikirku.
Aku menggunakan waktu istirahat ini dengan duduk di bawah pohon maple yang daunnya berwarna merah.
Mungkin karena musim gugur,jadinya warna daun itu berubah jd merah.
Sejuk sekali duduk di bawah pohon ini.
Pandangan ku terusik ketika aku melihat seorang laki-laki yang duduk persis berhadapan denganku.
'Misterius sekali',ucapku dalam hati.
Laki-laki itu mengenakan seragam seperti yang ku kenakan,itu menandakan ia bersekolah disini.
Tapi aku tak pernah melihatnya.
Gayanya yang seperti L di death note itu,membuatku agak sedikit ngeri.
Caranya menatapku seperti Edward Cullen di twilight saga.
Dingin,tapi mampu membuat semua wanita yang melihatnya meleleh.
Style rambut nya seperti Goo Jun Pyo di BBF,tapi tidak keriting.
Dan,yang paling aku sukai,matanya berwarna biru seperti Daniel Radcliffe di Harry Potter.
Di tengah lamunanku,tanpa disadari,ia menatapku.
Tersenyum.
Oh,senyum nya sangat menawan.
Mampu membuat ku nyaris pingsan karena melihatnya.
Aku tak tau bagaimana wajahku setelah melihat senyuman nya yang bak malaikat itu.
Tapi yang kurasakan,ada semburat warna merah di pipi ku.
Aku malu sekali.
Kemudian aku segera menuju ke kelas,lagipula buat apa aku berlama-lama,jam istirahat sudah habis.
Dan lagi,aku tak mau menghabiskan waktu ku dengan




cowok misterius itu.
Tanpa kusadari,kepergianku itu diiringi dengan tatapan nya.

Teng.. Teng.. Teng..
Lonceng tanda pulang sekolah pun berbunyi.
Seluruh siswa berhamburan ke luar semua menuju rumah masing-masing.
Aku sedikit terlambat keluar dari komplek sekolah karena aku harus membayar uang sekolah ku selama 1 semester ke depan.
Ketika aku menuju ke gerbang depan,aku merasa ada yang mengikuti.
Tapi begitu aku melihat ke belakang,tidak ada siapapun.
Bulu kudukku berdiri.
Aku mempercepat langkahku.
Dan akhirnya aku sampai di apartemenku.
Tetanggaku sepertinya belum pulang.
Apartemen nya masih gelap.
Kemudian aku masuk ke apartemenku.
Mandi,mengganti pakaian,makan,dan mengerjakan tugas-tugas sekolah.
Aku tak sempat memikirkan cinta,karena aku rasa hari-hariku sudah full dengan berbagai hal.
Malam pun menjelang.
Aku pun menuju ke ranjang ku yang super empuk itu,kemudian tidur.



2.
Di tengah kesunyian malam,aku terbangun.
Aku mendengar suara yang cukup mengganggu dari tetanggaku yang aneh itu.
Lalu kuputuskan untuk keluar dan menegur tetanggaku yang tidak pernah kelihatan wajahnya itu.
Aku tau dia seorang laki-laki karena atmosfer di sekitar apartemen nya berbau maskulin.
Aku menggedor pintunya.
'Tok.. Tok.. Tok'
Tidak ada sambutan.
'Tok.. Tok.. Tok'
Belum ada sambutan.
'Tok.. Tok.. Tok'
Lagi-lagi tidak ada sambutan.
Huh,pikirku,'Tetangga tak tau diri!'
Kemudian aku memutuskan kembali ke apartemen ku.
Ketika aku baru akan membuka pintu apartemenku,tetanggaku yang aneh itu membukakan pintu.
Kemudian,"Masuklah,maaf aku tertidur..jadi aku tidak tahu ada tamu di luar".
Ucap laki-laki misterius itu dengan nada lembut.
Aku berpikir 1000 kali untuk menerima undangan masuk itu.
Well,aku punya imajinasi buruk yang cukup tinggi ketika menghadapi hal semacam ini.
Pertama,aku takut diperkosa.
Kedua,aku takut kalau seandainya tetangga ku itu membunuhku di apartemen nya dan membuang mayatku ke sungai.
Ketiga,mungkin tetanggaku adalah psycho yang siap menyiksa ku hingga aku kehabisan nafas.
Imajinasi-imajinasi ku yang buruk itu membuat bulu kuduk ku merinding sendiri.
"Hey kau,mengapa masih diam disana?masuk lah,aku tidak akan mencelakaimu",tiba-tiba tetanggaku itu berkata.
'Oh Tuhan,lindungi aku',aku berucap dalam hati,kemudian aku pun memutuskan untuk masuk.
Well,aku takut imajinasiku itu jadi kenyataan,apalagi mengingat aku tak pernah melihatnya sebelum nya.
Aku terkesiap ketika masuk ke dalam apartemen nya,aku mendapati hal yang sangat mengejutkan.
Sesuatu yang tak kusangka-sangka.
Ternyata dia..



Ugh,belum sempat aku melihat wajahnya dengan jelas pikiran ku sudah melayang kemana-mana.
Tiba-tiba menjadi gelap gulita,kemudian,aku tak dapat melihat apapun.
Mataku terpejam,fikirku pun melayang.
Aku pingsan,tak sadarkan diri.
Samar-samar aku mendengar suara lelaki itu,ia mencoba menyadarkan aku.
Tapi aku tenggelam lebih dalam lagi dalam tidurku.
Keesokan paginya,ketika aku membuka mata,aku mendapati diriku di apartemen yang bukan apartemenku.
"Ugh",aku memegang kepalaku yang masih nyut-nyutan,pusing.
Aku segera memeriksa keadaan ku.
Pakaian,lengkap.
Tidak ada satu orang pun yang tidur di sebelahku.
'Ah..leganya',pikirku ringan.
Tiba-tiba,terdengar dentingan piano.
Piano itu dimainkan dengan lembut sekali.
Aku tau sekali lagu ini.
Lagu twilight,river flow in you.
Menurutku,ini adalah lagu yang sulit untuk dimainkan 'manusia'-well,karena dalam twilight bukan 'manusia' yang memainkan lagu ini untuk Isabella Swan,melainkan vampir ganteng,Edward Cullen.
Aku pun turun dari tempat tidur itu.
Aku mendapati ruangan kamar yang simple.
Tapi nyaman.
Dinding nya di cat serba putih.
Perabotnya hampir sebagian berwarna putih.
Kecuali sofa yang terletak diujung ruangan itu,berwarna hitam.
Kesan elite tak lepas dari ruangan ini.
Kau tau,perabotan di ruangan tidur ini adalah kualitas no.1 di dunia.
Televisi LCD Flat,yg mewah.
Bantal dari bulu angsa yang mampu membuatku tidur sambil mendengkur.
Ranjang yang terbuat dari red wood.
Dan busanya dari bulu angsa.
Lemari nya terbuat dari keramik.
Tersamar di sebelah rak buku yang cukup besar.
Aku sama sekali tak menyangka bahwa tetanggaku yang aneh ini adalah kaum borjuis-orang kaya-.
Ku pikir dia minder dengan keadaan nya hingga ia tak mau menunjukkan wajahnya.
Ternyata aku salah.
Aku pun berjalan mengikuti asal alunan piano nan lembut itu.
Dan aku menemukan nya.
Seorang laki-laki dengan postur tubuh proporsional seperti Jacob Black sedang memainkan piano itu dengan lembut.
Melihat lelaki itu dari belakang saja mampu membuatku terpesona.
Apalagi kalau dari depan?
Sepertinya lelaki itu menyadari aku memperhatikan nya daritadi.
Ia pun berbalik.
Oh,ternyata dia orang yang selama ini aku cari.
Edward Luke.
Edward adalah kakak kelas ku.
Sekarang ia sudah duduk di bangku universitas terkemuka di Amerika,Harvard.
Dengan jurusan hukum.
"Hai,Alice",sapanya sambil tersenyum.
Aku kaget.
Aku sama sekali tak menyangka kalau ternyata yang tinggal di sebelah apartemenku itu adalah Edward.
Aku menyesal telah menyebutnya tetangga yang aneh.
"Hai juga Ed",sapaku ramah sambil tersenyum padanya.
"Kau sudah sadar Al? Mau ku buat kan sarapan?",tanya nya lagi sambil tersenyum.
Ia menghentikan permainan piano nya yang indah itu dan berjalan ke arahku.
"Ayo Al,kita sarapan,aku menunggu mu bangun daritadi",kemudian ia membantu ku yang masih ling-lung berjalan menuju dapur.
Edward sungguh jenius dalam mengatur interior apartemen ini.
Well,apartemen Edward memang lebih besar dari apartemen ku.
Ukuran nya 3 kali lipat ukuran apartemenku.
Aku tidak tau darimana ia mendapatkan uang sebanyak itu untuk membobol 3 apartemen jadi 1.
Sepengetahuan ku,Edward tidak begitu kaya.
Tapi karena karisma nya begitu kuat,ia mampu menarik siapapun yang mengenalnya.
Aku diam sepanjang perjalanan menuju dapur hingga duduk.
Edward menegur ku lagi,"Alice?kau tidak apa-apa?".
Aku menggeleng,"Aku bingung,heran padamu Ed."
Edward tersenyum.
Ia membuatkan kami-aku dan dia-menu sarapan pagi yang lezat.
Omelet,disertai coklat panas yang menggugah selera.
"Nikmatilah Alice",ujarnya sambil tersenyum.
Sepertinya ia tau aku kelaparan karena dari semalam aku belum makan.
Aku pun mengangguk tanda setuju.
Kemudian kami berdua menikmati sarapan itu.
Tiba-tiba aku teringat,aku harus sekolah.
"Oh,Edward..jam berapa sekarang?",tanyaku panik.
"Hmm..jam 9.30 Al,kenapa?",ujarnya sambil melirik jam.
"Oh,aku sudah sangat terlambat untuk ke sekolah Ed..",aku memasang tampang sedih.
Edward merangkul ku,"Tenang Alice,aku sudah membuatkan surat untukmu".
Aku terkejut.
Ia bak malaikat yang di kirim Tuhan kepadaku.
Ia begitu baik.
Aku heran kenapa ia begitu baik padaku.
Dan imajinasi ku pun muncul lagi.
'Ugh,jangan muncul lagi imajinasi tolol!',ujarku dalam hati.
"Trims Edward",ucapku sambil melirik ke arahnya.
Setelah sarapan,Edward membereskan nya.
Aku ingin membantu tapi ia bilang aku harus istirahat.
Jadi aku putuskan untuk menonton tv di kamarnya.
Tanpa ku sadari,aku kembali terlelap.



3.
Hari ini hari terakhir aku sekolah sebelum menikmati liburan musim dingin yang panjang.
Teman-temanku sudah merencanakan untuk liburan,aku?
Hm,tidak terpikir olehku untuk liburan.
Sempat terlintas untuk kembali ke Jakarta menemui orang tua ku.
Tapi lagi-lagi,aku membuang jauh-jauh pikiran itu.
Orang tuaku pasti tau dan sangat mengerti kenapa aku tak pernah mau kembali ke Jakarta lagi.
"Alice,kemana kau liburan kali ini?",tanya Monica dengan antusias.
"Hm,aku tak tau..mungkin aku akan berdiam di Paris musim dingin ini. Kau akan kemana?",ujarku lesu dan tidak terlihat antusias menghadapi liburan.
Monica sibuk mengajak ku ke Amsterdam kali ini,dia sibuk berceloteh ria.
Sedangkan aku malah asik memperhatikan lelaki misterius yang selalu duduk di pohon maple itu.
Well,sejak kejadian itu aku tak pernah lagi ke tempat 'suci' itu.
Karena menurutku tempat itu sudah tidak layak lagi untuk dikunjungi dan dijadikan tempat bersantai.
Well,pernah aku menanyakan pada temanku Stella tentang lelaki itu.
Stella bilang namanya Alex.
Dia murid pindahan dari Swiss.
Wow,wajar saja aku tak mengetahui nya.
Dan lagi,wajahnya sangat unik untuk ukuran orang Eropa.
Tiba-tiba sesuatu mengguncang badanku dan membuyarkan tatapan ku ke Alex.
Monica.
Oh,dia mengganggu lamunan ku lagi.
"Alice,kau setuju kan?",tiba-tiba ia langsung menyambar dengan kalimat itu.
Aku sama sekali tak mengerti apa yang ia maksud.
"Hm,ya?Monica..maaf,aku tak memperhatikan. Bisa kau ulangi?",aku merasa sangat bersalah mengucapkan kalimat itu.
Wajah Monika bersungut-sungut mendengarnya,kemudian,"Ah,sudahlah..tak penting Alice,"ujarnya sedikit kesal.
Well,aku pun melangkah menuju apartemen ku yang mungil itu.
Dalam perjalanan ku ke rumah,lagi-lagi aku merasakan ada seseorang yang mengikutiku.
Aku melirik ke belakang.
Tak ada orang.
Yang kudapat hanya kucing yang mengeong-ngeong.
Lapar,pikirku.
Kemudian aku mempercepat langkahku tanpa melihat ke depan.
Aku hanya melihat ke bawah.
Bruk!
Ugh..sepertinya aku menumbur sesuatu.
Oow..
Alex?
Dalam sekejap aku pun roboh.
Semuanya gelap gulita. 
Ugh..sial,kenapa aku cepat sekali pingsan,fikirku.
Begitu sadar,aku merasa aku mengenal tempat ini.
Apartemen Edward.
Ku coba untuk mengingat lagi kejadian tadi.
Yang ku ingat aku menumbur sesuatu yang keras yang mampu membuat kepala ku berdarah.
Dan hal terakhir yang aku lihat adalah Alex.
"Alice,jangan banyak bergerak dulu..kau masih belum sembuh benar",tiba-tiba suara Edward yang halus membuyarkan lamunanku.
"Oh,Edward..",aku memegangi kepalaku.
Di perban.
Sepertinya cukup kuat aku menubruk benda itu.
"Sssst..Alice,berbaringlah,biar ku ambilkan air untuk menenangkan mu,kemudian kau harus menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi padamu,ok?",Edward pun membaringkan ku di tempat tidur yang sangat empuk itu.
Kemudian ia keluar,menuju dapur untuk mengambilkan air.
Aku tetap memegangi kepalaku yang di perban itu.
Cukup lebar luka itu hingga perban itu membalut kepalaku.
Untung aku liburan,pikirku.
Edward datang memberiku segelas air,"Minumlah Alice,ku harap kau bisa menceritakan padaku.",ucapnya.
Aku meneguk air itu sambil sedikit berpikir.
Kenapa aku jadi sering ke apartemen Edward?
Kenapa aku tidak dipulangkan ke apartemenku yang letaknya jelas-jelas bersebelahan dengan apartemen Edward?
Kenapa Edward begitu baik?
Dimana Alex?
"Alice..berhentilah meneguk air itu,gelas nya sudah kosong. Mau ku ambilkan lagi?",Edward menarik gelas itu dari mulutku.
Tanpa ku sadari aku terus menenggak angin.
Ow,malu nya..
Aku menggeleng.
"Tidak perlu Ed,sudah cukup..trims. Nah,sekarang apa yang mau kau dengar dariku?"tanyaku penasaran.
Edward menghela nafas.
Kemudian ia mengacak rambutku,dan tertawa.
"Hei! Hentikan Ed,aku tak suka!",ucapku setengah marah.
"Alice,jangan marah..aku hanya gemas melihatmu. Sudah 5 tahun sejak pertemuan kita yang terakhir itu,kita tak saling mengontak lagi. Aku ingin tau banyak..",Edward menjelaskan dengan sabar.
Aku mendengus kesal.
"Apa yang ingin kau tau?"
"Tak banyak",ujarnya,"aku hanya ingin tau keadaan mu sekarang,keadaan orang tua mu,dan kehidupan mu Alice..aku rindu padamu."
Kata-katanya yang terakhir membuat hatiku bergetar.
Dia rindu padaku setelah apa yang ia perbuat 5 tahun lalu?
Well,Edward memang baik.
Tapi disisi lain,ia jahat.
Ia meninggalkan ku.
Aku tidak menjawab pertanyaan nya.
Aku memutuskan untuk pergi.
Aku bergegas menuju pintu,tapi lengan Edward menangkap lengan ku.
"Jangan pergi Alice,aku tau kau marah padaku..please,jangan lakukan ini Al.."
Aku tak menggubris dan melepaskan tangan nya itu.
Kemudian aku masuk ke apartemen ku.
Aku merasakan sakit yang begitu dalam padanya.
Edward Luke.
Lelaki itu,membuka luka lama yang telah aku tutupi selama 5 tahun ini.
Sekarang aku tau mengapa ia begitu baik padaku.
Ia hanya ingin menarik simpatiku.
Lelaki munafik.
Egois.
Pengkhianat.
Aku benci Edward Luke.

4.
Peristiwa 5 tahun yang lalu sangat tidak mengenakan untuk di kenang.
Memikirkan nya saja hatiku sudah seperti tersayat-sayat.
Membayangkan nya apalagi.
Hati ku bagaikan di belah-belah oleh samurai.
Ugh.
Well,bermula ketika aku dan Edward menghadiri ulang tahun saudarinya,Rose,di Italia.
Kami pergi berdua.
Sampai di Italia,kami disambut hangat dengan orangtua Edward.
Craig Luke dan Angela Luke.
"Ayo,kita mesti bergegas,kalau tidak kita akan dimarahi oleh Rose..",ujar Mr. Luke.
Aku mengangguk.
Kemudian Edward menuntun ku ke mobil ayahnya.
Setiba di rumahnya,Rose menyambut Edward dengan hangat.
Tapi tidak ketika ia menyambutku.
Tatapan nya tajam,sorot matanya dingin,dan senyum nya sinis sekali.
Mengerikan punya adik seperti ini,pikirku.
Kami pun masuk ke dalam rumah keluarga Luke.
Indah sekali.
Perabotan nya kualitas no. 1 di dunia.
Sungguh mengesankan.
Tak ada satu orang pun yang menyangka rumah ini mewah.
Karena,kau tau,rumah ini terlihat jelek dari luar.
Well,tiba saatnya merayakan ulang tahun Rose.
Kami merayakan nya dengan suka cita.
Kurang lebih hampir 3 hari lamanya aku di Italia.
Orang tuaku tidak khawatir karena mereka telah mengenal keluarga Luke sejak lama.
Hari ke 8,musim dingin di bulan Desember.
Aku berjalan di pusat perbelanjaan terkenal di Italia.
Barangnya sangat banyak dan low price.
Aku melihat sebuah music box yang mengalunkan lagu Mozart.
Indah sekali.
Aku pun membelinya seharga 15 euro.
Aku bermaksud menghadiahkan nya ke Edward.
Setelah berbelanja,aku pun kembali ke rumah itu.
Sepi sekali.
Craig dan Angela serta Rose sepertinya tidak ada di rumah.
Aku melangkah masuk.
Menuju kamar Edward.
Ketika aku membuka pintu kamar itu,aku mendapati pemandangan menjijikan dan menyayat hatiku.
Edward sedang bercinta dengan perempuan lain.
Saat itu juga air mataku meluap.
Seperti tsunami yang melanda daratan.
"EDWARD!",teriakku sambil menangis.
Edward melirikku.
Kemudian menghampiri ku.
"Pergi",ucapnya dingin.
Aku terenyak.
"Aa..pp..aa..?"ucapku bergetar,aku masih menahan air mataku yang tersisa.
"Ku bilang pergi kau!!"ucap Edward kasar,lalu ia mendorongku dengan kuat hingga tubuhku roboh dan menimpa vas bunga.
Tangan ku robek.
Berdarah.
Edward menyeretku keluar dari rumahnya.
Aku tak mengerti,setan apa yang merasuki dirinya.
"Jangan pernah kembali!",serunya sambil melemparkan uang ke arah ku.
Sungguh keterlaluan.
Aku pun pergi dari rumah itu. Dan aku berjanji,aku tak kan pernah berhubungan lagi dengan nya.
Saat itu juga aku kembali ke Paris.
Di Paris,aku berjumpa dengan Jake.
Lelaki tampan,berumur 20 tahun.
Ia tinggal di seberang sekolah ku.
Jake bilang,ia senang melihatku tiap pulang sekolah.
Aku tersenyum mendengarnya.
Hubungan ku masih sangat baik dengan nya.
Walaupun aku sudah tidak pernah mengunjunginya lagi hingga saat ini. 

5.
Jake.
Well,memang sedikit mirip cerita twilight.
Karena aku memang suka nama-nama mereka.
Menurut ku nama mereka indah.
Back to story.
Jake.
Aku bertemu Jake setelah begitu terpuruk mendapati Ed begitu.
Saat itu aku sangat takut dengan makhluk bernama pria.
Trauma.
Ya,trauma..
Kejadian Edward membuatku begitu terluka hingga aku memutuskan untuk berhenti jatuh cinta.
Tapi,Jake 'memaksa' ku untuk jatuh cinta lagi.
Meskipun hingga saat ini aku belum pernah menemuinya lagi-karena kudengar dia pergi ke Venesia,hati ku tetap padanya.
Dan meskipun aku juga sedikit tertarik pada Alex,tapi tak ada satu orang pun yang bisa menggantikan Edward selain Jake.
Jake berbeda dengan Edward.
Jake di desain begitu sempurna untuk ku.
Well,hari ini tepat 2 minggu liburan musim dingin sekolah ku.
Telepon berdering.
Kring.. Kring..
"Halo?",ucap suara diseberang sana.
Suara ini tak asing buat ku.
"Halo,siapa ini?",jawabku pelan.
"Eh,mm..ini aku Alice,aku Alex."
Deg.
Baru aku memikirkan nya barusan,dia sudah menelpon ku.
"Ow,Alex..ha..ha..ada apa kau menelepon?"jawabku tak karuan sambil tertawa ringan.
"Begini Alice,aku minta maaf atas kejadian waktu itu."ujarnya,"aku sebenarnya bermaksud mengantarmu ke apartemen mu. Tapi begitu aku mau masuk,Edward-tetanggamu-menghalangi. Ia bilang padaku agar menaruhmu di apartemen nya. Setelah itu,ia mengusirku dengan kasar."
Aku mendengar nada marah di ujung kalimat itu.
Tega sekali Edward.
Penjelasan Alex sudah jelas membuktikan Edward belum dan tidak akan pernah berubah.
"Aku minta maaf soal Edward,Alex.."ucapku pelan,"seharusnya aku tak membiarkan itu terjadi pada orang lain. Tapi,trims karna kau mau menceritakan nya padaku,Alex."
Alex diam.
"Hm,ya Alice..aku mengerti. Tapi,apa maksud mu orang lain? Apa kau pernah mengalami hal yang ku alami?"
Alex bertanya padaku soal hal yang tak ingin ku ingat lagi.
Bekas luka di lenganku tak separah luka di hatiku.
"Oh,tidak apa-apa Alex",aku berusaha menghindar.
"aku ada urusan lain..bonjour Alex",aku menutup telepon nya.
Aku yakin,Alex pasti penasaran.
Well,hari ini,ku putuskan untuk ke rumah Jake.
Sekedar berkunjung dan mengobrol.
Sampailah aku di rumah kecil nan nyaman ini.
Jake Jake Jake.
Pikiranku terpaku pada nya.
Aku menekan bel yang ada di sudut pintu.
Ting tong..
Sepertinya orang di rumah ini respon nya cepat.
Baru satu kali ku menekan bel,sudah di buka kan pintu.
Perempuan?
"Bonjour",ucap perempuan itu ramah.
"Bonjour,apa benar ini rumah Monsieur Jake?"jawabku ramah,tapi dengan nada bingung.
Perempuan itu mengangguk dan mempersilahkan aku masuk.
"Merci",ucap ku.
Perempuan itu menuntun ku ke ruang tamu.
Sepertinya ia tak banyak bicara.
Kemudian ia pergi.
Tak lama,Jake muncul.
"Bonjour Alice,"ujarnya sambil memelukku.
Aku senang sekali.
"Hey,bonjour Jake",ujarku riang.
"Kunjungan yang mengejutkan,Al. Mengapa kau tak menelepon ku dulu?",Jake duduk di sebelahku.
Tak lama perempuan itu muncul lagi membawa minuman.
Sepertinya ia tau diriku.
Ia tersenyum,"Minumlah."
"Merci,madame.."aku mengangguk.
Kemudian,ia pergi lagi.
"Jake,siapa dia?"tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari bibirku.
Jake tersenyum.
"Dia,istriku Alice"
Deg.
Hatiku remuk.
"Istrimu?"aku mencoba tegar.
Jake mengangguk,"Sebenarnya aku ingin sekali mengundang mu ke pernikahan ku",jelasnya,"tapi aku tak punya alamat mu untuk mengirimkan undangan itu. Pardon",nadanya menyesal.
Aku mencoba tersenyum.
"Tak apa Jake,aku paham."
Setelah berbincang cukup lama,ku ketahui nama istrinya Vienna.
Dan sekarang Vienna tengah mengandung.
Aku tak ingin merusak rumah tangga orang,jadi aku putuskan untuk berpamitan.
"Jake,aku harus pulang.. Merci atas semuanya",ujarku sambil tersenyum.
"Oh,tentu Alice.. Tapi kau tak perlu berterima kasih."ucapnya.
Aku tersenyum.
Well,setelah berpamitan,aku pun pulang.
Lagi-lagi hatiku hancur.
Dua kali.
Sakit rasanya.
Tapi,lebih menyakitkan dikhianati Edward.
Well,Jake tetap malaikat ku.
Aku melangkah menuju Musée du Louvre.
Menenangkan diri dengan melihat galeri disana.
Well,sepertinya aku mengalami hari yang buruk.
Tapi,setidaknya hubunganku dengan Jake-sekaligus istrinya-tidak buruk.
Jake Anderson.
Je t'aime..

6.
Tak terasa sudah sebulan aku liburan musim dingin.
Hari-hari ku di isi dengan kegiatan itu-itu saja.
Bangun.
Makan.
Mandi.
Berkeliling Paris.
Pulang.
Tidur lagi.
Ugh,membosankan.
Ya,membosankan karena aku melakukan nya hanya sendiri.
Well,hari ini aku memutuskan untuk ke Café Thoumieux untuk sekadar bersantai.
"Ting tong.. Ting tong.."
Bel apartemenku berbunyi.
Aku segera membuka pintu.
Edward.
Mau apa lagi ia kesini?
"Hai Alice..",sapanya gugup,tak mau melihatku.
Aku menatapnya dingin.
"Mau apa kau kesini?"
"Ehm,aku hanya ingin tau keadaan mu,Al"
Aku tertawa mengejek.
"Oh,ingin tau keadaan ku? Kau masih ingin tau keadaan ku setelah kau mencampakkan ku? Laki-laki brengsek kau.."
Plak.
Tamparan melesat ke pipi nya.
Edward memegang pipinya.
Nyeri-kurasa-.
Hal yang tak kusangka-sangka terjadi.
Edward berlutut di hadapan ku.
Menangis.
Ugh,pasti air mata palsu lagi.
"Alice..pardon.",ucapnya sambil menangis dan menggenggam tanganku.
Ugh,menjijikan.
Aku menarik tanganku,menarik nya berdiri.
Ia menurut.
"Jangan pernah berbuat konyol seperti ini Edward.",ucapku,"aku sudah memaafkan mu."
Aku berat sekali mengatakan kalimat terakhir itu.
Sepertinya aku memutuskan untuk berkumur dengan pembasmi kuman mulut setelah ini.
Edward tersenyum.
Oh.
Aku tak bisa menatap senyuman nya yang indah itu.
"Pergilah Edward.",ucap ku tanpa ekspresi.
"Alice,boleh aku berkata sesuatu?",tanya Edward.
Aku mengangguk pelan.
Edward menghela nafas,"Well,aku sudah menyakiti hatimu Alice..aku menyesal akan kejadian di Italia itu. Sesungguhnya,aku tak ingin seperti itu Alice. Aku tak ingin menyakiti mu..",tiba-tiba Edward diam.
Aku penasaran.
"Lanjut Edward.",ucapku.
Lagi-lagi Edward menghela nafas.
"Je t'aime,Alice.."
Deg.
Kata-kata itu meluncur begitu cepat dari bibirnya.
Aku sempat berpikir apakah ini hanya mimpi atau kenyataan.
Membingungkan.
"Alice,aku sungguh mencintaimu.. Maukah kau menerima ku?",pintanya,memelas.
Aku berpikir 1000 kali untuk menerima lelaki seperti ini.
"Ehm,Edward..aku tak bisa memberi jawaban sekarang. Ku rasa,hatiku masih sangat sakit dan dendam terhadapmu.",ucapku sambil mencoba tenang.
Edward mengangguk lesu.
Kemudian ia pergi.
'Ahh,dasar lelaki itu,membuatku makin pusing!',gumamku.
Setelah berkumur dengan cairan pencuci mulut,mandi.
Aku pun langsung menuju café Thoumieux.
Nyaman sekali suasananya.
"Bonjour,Alice.",sapa salah satu pegawai di sana Sherly.
Well,Sherly mengenal ku dengan baik karena hampir tiap hari aku kesini untuk menghabiskan waktu.
"Bonjour Sherly."sapaku kembali sambil tersenyum.
Aku duduk di pojok dekat jendela.
Aku memesan secangkir coklat panas pada Sherly.
Yang aku sukai dari café ini adalah suasana nya.
Café ini terletak di tengah kota,strategis.
Dan yang pasti,di café ini pasti ada orang yang memainkan musik.
"Alice,ini coklat panasmu."ujar Sherly sambil memberikan nya padaku,tersenyum.
"Nikmatilah."
Aku mengangguk,tersenyum.
Kali ini yang memainkan grand piano itu adalah seorang musisi yang cukup terkenal di kota ini.
Febrian.
Febrian sosok lelaki yang unik.
Ia memiliki mata berwarna hazel.
Berpostur proporsional.
Rambutnya pirang di gunting ala Kaka.
Aku kagum padanya.
Tanpa ku sadari,ada yang memperhatikan ku di ujung jalan.
Orang yang sama yang hampir setiap hari mengikuti ku.
Well,sebenarnya aku harap itu Alex.
Aku tak tau mengapa aku mengharapkan nya.
It's too complicated to share..

7.
Tak terasa minggu depan aku sudah mulai sekolah lagi.
Ugh,hari yang melelahkan dimulai kembali.
Kemarin Monica menelepon ku.
Ia sedang berada di Amsterdam,Belanda.
"Alice,please..tolong beri tau ke Madame Swan aku sedang berada di luar kota dan aku kehabisan tiket untuk pulang-well,sebenarnya aku masih ingin menikmati liburan ini-...",oceh nya panjang lebar.
Aku cuma mengangguk-angguk.
Sambil sesekali menjawab,"Ya".
Hanya itu yang aku bisa katakan.
Di akhir percakapan kami,Monica bilang ia sudah tau siapa yang mengikutiku.
Tapi ketika aku bertanya lebih lanjut,dia menutup telepon nya.
Ugh,menyebalkan.
"Ah,hari ini mau kemana lagi Alice?",tanyaku pada diri sendiri.
Aku ingin ke Notre Dame,tapi apakah ada bus yang lewat ke sana sepagi ini?
Lalu kuputuskan untuk pergi ke bus stop.
Membeli karcis untuk jam 9.
Hm,masih harus menunggu 1 jam lagi.
Aku pun duduk di kursi halte sambil membaca buku.
Tapi aku sama sekali tak bisa berkonsentrasi membaca nya karena ada hal yang ku pikirkan.
Edward.
Febrian.
Alex.
Ups,Febrian?
No,Febrian tidak termasuk.
Jadi tinggal Edward dan Alex.
Well,aku sedang menimbang-nimbang pernyataan Edward beberapa waktu lalu.
'Je t'aime,Alice.',aku menggumam.
Hah,lelaki itu..
Aku menggeleng-geleng.
Alex.
Sejak ia menelepon ku beberapa waktu yang lalu,aku tak pernah lagi mendengar suaranya.
Bertemu pun tidak.
Aku berpikir untuk menelepon nya.
Tapi,ku urungkan niatku itu.
Bodoh,pikirku.
Waktu di sekitarku begitu cepat berlalu.
Tak terasa sudah jam 9 tepat.
Well,kau tau,bus di Paris tak pernah terlambat.
Selalu tepat waktu,berbeda dengan di Indonesia.
Bus way saja bisa telat.
Well,aku pun masuk dalam bus.
Menuju Notre Dame.
"Alice?",sapa seseorang.
Aku menoleh ke belakang.
Alex.
Wajahku langsung memerah.
"Hai Alex..",sapa ku gugup.
Alex memiringkan kepala.
"Kenapa kau Al?"
Aku menggeleng.
Karena melihat kursi di sebelah ku kosong,ia pun duduk di sebelah ku.
Alex tersenyum.
Manis sekali.
Aku sangat senang melihat senyuman nya.
Ku kira dia sama aneh nya dengan mantan tetanggaku yang misterius itu,ternyata tidak.
Alex berbeda.
Selama perjalanan ke Notre Dame,aku dan Alex mengobrol banyak.
Aku tau sekarang kalau hobi nya sama denganku.
Dia suka melukis.
Alex bilang,dia sangat suka karya Leonardo da Vinci.
Karena perjalanan cukup jauh,tanpa terasa aku tertidur.
Aku bersandar di bahu Alex yang lebar.
Nyaman sekali.
Aku tertidur nyenyak sekali.
Sampai-sampai aku bermimpi yang indah sekali.
Oh Alex..
8.
Ting tong.. Ting tong.. Ting tong..
Suara bel apartemen ku berbunyi.
Ah,siapa lagi yang datang pagi-pagi begini?pikirku.
Aku ingin sekali mencoba untuk bangun lebih siang,sedikit saja.
Setidaknya untuk menghilangkan lelah setelah selama beberapa hari ini aku menghabiskan waktu bersama Alex.
Melupakan Edward,sejenak.
Aku segera menuju pintu.
"Bonjour.",ucap nya.
Tukang pos.
"Ini ada kiriman paket untuk Anda. Silahkan tanda tangan disini.",ucap pak pos itu ramah sambil memberi kan paket dan lembaran yang mesti aku tanda tangan.
"Merci.",ucapku ramah.
"Oui,bonjour.",sapanya,kemudian pergi.
Aku masuk kembali ke apartemen ku.
Penasaran akan isi paket itu.
Aku pun membukanya.
Wow,gaun yang indah sekali.
Ini jelas buatan perancang ternama.
Aku melihat merk nya,Dolce and Gabbana.
Aku suka sekali rancangan D&G.
Gaun ini simple.
Berwarna hitam dengan glitter.
Panjang nya sampai ke tumit.
Tak berlengan.
Dan backless.
Gaun ini pasti mahal sekali,karena aku tau gaun ini terbuat dari sutra.
"Siapa yang mengirimkan ini?",gumamku.
Oh,ada surat.
Ku buka surat itu.
"Dear Alice,
Aku harap kau suka gaun pemberianku itu. Well,itu memang cukup mahal. Tapi kau tak perlu memikirkan nya. Aku ingin kau memakainya dan temui aku di Le Meurice jam 7 malam nanti.
A bientöt,Alice."
Aku mencari-cari nama pengirim nya.
Tapi tak ada.
Ugh,aku bingung.
Apa aku harus pergi?
Aku kan tidak tau siapa yang mengirim nya.
Jangan-jangan seorang psycho yang mencoba menjebak ku.
Bulu kuduk ku berdiri memikirkan itu.
Lagi pula,siapa yang sanggup mentraktirku di Le Meurice?
Restoran itu sangat mahal.
Malahan termahal di Paris.
Ugh,seporsi makanan nya saja bisa mencapai 100 euro.
Kalau dirupiahkan,oh,aku tak tega menyebutkan.
Well,setelah berkutat lama dengan diriku sendiri,aku memutuskan untuk pergi.
Jam 7 malam ini,oke,pikirku.
Aku penasaran siapa yang telah begitu 'mulianya' memberikan aku gaun yang super mahal.
Dan mengajak ku makan malam di restoran yang super mahal pula.
Aku menuju kamar mandi untuk merilekskan pikiran ku dari kekalutan ini.
Aku sungguh tak sabar menanti jam 7 malam ini.
Setelah mandi,aku bergegas mengganti pakaian ku dengan gaun itu.
Pas sekali.
Aku mencatok rambut ku yang panjang sepunggung.
Rambutku berubah menjadi ikal.
Aku mengenakan high heels berwarna hitam dengan lis berwarna emas.
Aku sudah siap.
Aku pun memanggil taksi untuk mengantar ku ke Le Meurice.
Sesampai di sana seorang pelayan menghampiriku.
"Bonsoir."ucap nya sambil tersenyum,"Anda Alice bukan?"
Darimana ia tau namaku?
Aku mengangguk.
Kemudian ia menuntun ku ke lantai 5.
Disana sudah ada meja.
Untuk 2 orang.
"Silahkan duduk,Alice,beau..",ucapnya ramah.
Aku tersipu malu.
Aku menunggu.
Tiba-tiba lampu mendadak mati.
Deg.
Aku terkejut.
Tapi,ada sinaran dari balik piano itu.
Aku berjalan menuju piano itu.
Dan,oh..
Ternyata..Oh..
Tak ku sangka.
Ternyata dia Alex.
Aku baru menyadari Alex bisa memainkan piano.
Dia nampak sangat sempurna dengan setelan tuxedo.
Wow.
"Hai,Alice..kau cantik sekali hari ini,parfait",ucapnya sambil tersenyum lepas.
Ia menggenggam tanganku.
Mengajakku berdansa,di bawah alunan musik klasik.
Romantis sekali.
Aku terhanyut dalam suasana itu.
Alex melingkarkan tangan nya pinggangku.
Dan aku melingkarkan tanganku di bahu nya yang lebar itu.
Matanya menatap ku dalam,seakan ingin mengutarakan sesuatu.
Aku menyadari wajahku sudah berubah warna menjadi merah karena tatapan nya yang mampu melelehkan seluruh hati wanita.
Mengapa Tuhan menciptakan makhluk yang sangat sempurna seperti ini?
"Alice?",Alex memegang dagu ku,memandang ku sambil tersenyum.
"Aku tidak apa-apa Alex.",ucapku malu.
Kami pun berhenti berdansa.
Alex menuntun ku ke meja yang telah di pesan nya.
Meja itu telah dihias bunga favoritku,tulip.
"Cantik sekali",gumamku.
"Kau suka Alice?",tanya Alex pelan,suaranya lembut sekali.
Aku menggangguk pelan,senang.
Alex memanggil pelayan bernama Fernando.
Ia memesan wine yang high quality dan 2 porsi beefsteak dengan saus mayonaise.
Beefsteak disini sangat terkenal karena kelezatan dan juga kemahalan nya.
Well,setelah memesan,pandangan Alex kembali padaku.
Ia kembali menggenggam tanganku.
"Alice",ucapnya.
Nadanya sedikit gugup.
"Iya?",jawabku,polos.
"Aku ingin mengutarakan sesuatu,sekaligus menjelaskan..",Alex berhenti sebentar,menghela nafas kemudian melanjutkan,"aku tau kau pasti tidak tenang ketika menyadari seseorang mengikuti mu Alice. Dan aku tak ingin membuatmu resah lagi. Jadi..aku mengaku bahwa akulah yang mengikuti mu selama ini Alice.. Pardon..",Alex menjelaskan dengan perasaan bersalah.
Jujur,aku sangat senang sekaligus kaget mendengar pernyataan nya.
Tapi di sisi lain aku bingung,mengapa ia begitu?
Aku menatapnya,kulihat,ia tak mau menatapku.
Aku tersenyum melihat sikapnya itu.
Aku mengangkat dagunya,menatapnya,dan tersenyum.
"Aku tidak marah padamu Alex",aku menatap matanya,"aku senang mengetahui itu kau Alex."
Alex sedikit terkejut.
Aku melanjutkan,"Hm,apa yang mau kau utarakan lagi Alex?"
Kami tidak menghiraukan pelayan yang datang membawa pesanan kami.
Alex akhirnya tersenyum lagi.
Ia masih menggenggam tanganku.
"Maukah kau menjadi pacarku Alice? Je t'aime.."
Deg.
Aku tak tau harus bagaimana.
Perasaanku senang bercampur bingung.
Tapi,aku rasa tak perlu membuatnya menunggu jawabanku.
Aku mengangguk,pipiku merona.
Alex spontan mengangkat tanganku hingga badanku pun ikut terangkat.
Ia memelukku.
Kemudian mencium keningku.
Dan malam itu,menjadi malam paling indah yang pernah aku rasakan.

Hari-hari ku bersama Alex berjalan lancar.
Aku sangat bahagia bersamanya begitu juga dengan Alex.
Hari ini sudah seminggu aku jadian dengan Alex.
Kami berkunjung ke Café Thoumieux.
Aku senang bisa berdua dengan Alex,menikmati secangkir coklat panas dan memandangi gedung-gedung di sepanjang jalan di Paris.
Sherly,pelayan yang bekerja di sini mendatangi kami.
"Bonsoir Alice dan..",sapa Sherly,terlihat bingung.
Aku tertawa kecil.
"Kenalkan,ini kekasihku Alex",ujarku memecahkan keheningan.
Sherly mengangguk,mengerti dan tersenyum.
Kemudian meninggalkan kami.
"Siapa dia Alice?",tanya Alex,bingung.
Aku menjelaskan,"Dia Sherly,dia bekerja disini Alex. Dari dulu,dia yang selalu melayani aku disini. Jadi,aku kenal dengan nya."
Alex mengangguk mengerti sambil menenggak coklat hangat nya.
Kami melanjutkan percakapan kami.
Bercanda dengan nya membuatku melupakan segala kepenatan ku.
Setelah hampir 2 jam kami bercakap-cakap di café Thoumieux,kami pun pulang.
Alex mengantarku dengan menggunakan volvo nya.
"Sudah sampai.",ucapnya,sambil tersenyum.
Ia mengecup keningku.
"Masuklah Alice.",ujarnya.
Aku tersenyum.
"Baiklah jika kau memaksa..",ucapku tenang sambil tersenyum.
Aku pun keluar dari mobil nya,menuju apartemenku.
Aku melambaikan tangan ke arahnya.
Alex membalas.
Kemudian aku masuk ke apartemenku yang nyaman itu.
Hari yang indah.
Besok aku sudah mulai bersekolah kembali.
Alex berjanji akan mengantar-jemputku setiap hari.
Awalnya aku menolak karena jarak apartemenku dan rumahnya jauh.
Tapi ia bilang tak apa.
Jadi,aku tidak bisa menolak.
Apalagi dia menawarkan nya dengan senyuman nya yang sangat menawan.
Alex,Alex..

Hari ini aku kembali ke sekolah.
Menggunakan volvo miliknya,Alex mengantar ku.
Kami berbeda kelas.
Oleh karena itu kami hanya bertemu sebelum masuk,ketika istirahat dan ketika pulang.
Well,hari pertama kembali ke sekolah memang hal yang-hampir seluruh siswa-tidak sukai.
Ugh,menyebalkan.
Apalagi bangku sebelah ku kosong karena Monica masih berliburan ria di Amsterdam.
"Alice Jefferson",Madame Swan mengabsen.
Aku mengacungkan tangan ku.
Tiba giliran Monica.
"Monica Estella Clarence",ucap nya keras.
Aku memberanikan diri bersuara,"Mo..Mo..Monica tidak dapat hadir,Madame."
Madame Swan terlihat bingung.
Aku sudah bisa menebak,ia pasti ingin tahu alasan nya.
Aku buru-buru ingin menjelaskan.
Tapi,seolah ia tau sesuatu,ia menyuruh ku untuk diam.
Ya sudah,pikirku.
Pelajaran ekonomi memang sangat membosankan.
Saking membosankan nya aku sampai terlelap.
Tiba-tiba,"ALICE JEFFERSON!SILAHKAN KELUAR JIKA ANDA MAU TIDUR!",suara Madame Swan sangat kuat dan marah.
Aku terenyak.
Oh,sial.
Aku pun keluar dari ruangan kelas sambil mengetuk-ngetuk kepalaku.
"Alice bodoh,mengapa kau tidur di kelas?",gumamku menyesal.
Aku pun menuju taman sekolah.
Masih sangat terasa cuaca musim dingin.
Well,bulan Februari ini masih belum ada tanda-tanda kehangatan.
Paling menjelang awal Maret cuaca baru akan menghangat.
Aku duduk di kursi yang ada di taman sekolahku.
Taman ini bersih sekali.
Dilengkapi kolam ikan yang jernih.
Menenangkan,kurasa.
Aku duduk sendirian.
Karena merasa bosan,aku mengeluarkan telepon genggam ku dari saku baju ku.
Aku menekan nomor Monica.
"Tut.. Tut.. Tut..
Maaf,telepon ini sedang tidak aktif."
Ugh,kemana kau Monica Estella Clarence?
Aku menghela nafas.
Tak terasa sudah 1 jam pelajaran aku disini.
Well,hari ini Madame Swan mendapat jatah 3 jam pelajaran.
Jadi,masih 2 jam lagi aku menjamur disini.
Aku memilih untuk memikirkan Alex saat ini.
Membayangkan apa yang ia lakukan sekarang.
Aku sangat senang dengan lamunan ku ini.
"Alice.."
Seseorang membuyarkan lamunanku.
Aku segera berbalik.
Edward?
"Mau apa kau kesini Ed?",ujarku sok ramah.
"Hanya berkunjung Alice. Tidak boleh?",jawabnya sambil tersenyum.
Aku diam,tidak menjawab.
Kemudian ia duduk di sebelah ku.
"Alice,aku rindu padamu..",ujarnya tiba-tiba.
Edward menggenggam tanganku.
Tapi sekejap saja aku sudah melepaskan genggaman nya.
"Kau tak perlu bicara seperti itu lagi Edward..",ujarku,dingin.
Edward mengangguk.
Aku tau ia pasti kecewa.
Tapi,memang itu yang ku inginkan.
Membuat seorang Edward Luke kecewa.
Edward bercerita tentang keadaan nya sekarang.
Dari ceritanya aku bisa menyimpulkan kalau ia masih baik-baik saja.
"Jadi Alice,bagaimana dengan mu?",Edward bertanya padaku sambil menatapku.
"Aku baik,dan aku rasa tak ada yang harus ku ceritakan.",ucapku,"pardon Edward,aku harus ke kelas..bonjour."
Aku sedikit berbohong di akhir percakapan kami.
Aku segera meninggalkan nya.
Tanpa sepengetahuan ku,dari atas kelas nya,Alex melihat ku.
Melihat kejadian antara aku dan Edward.
Aku tak tau apa yang akan terjadi setelah ini.


Semenjak kejadian itu,sikap Alex berubah 180° terhadapku.
Memang,dia tetap mengantar jemputku setiap hari.
Tapi,tiap kali aku mengajak nya berbicara,ia selalu menghindar.
"Alex..tunggu",ujarku sambil menyeimbangkan langkahku dengan langkahnya yang cepat.
Alex tetap berjalan.
Malahan ia semakin mempercepat langkahnya.
Aku pun terpaksa berlari untuk mengejarnya.
Aku ingin bicara dengan nya.
Aku tidak peduli dengan apa yang ada di hadapan ku saat ini.
Yang pasti,aku hanya ingin berbicara dengan nya.
Duk!
Aku tersandung kerikil yang ada di lapangan sekolah.
Aku terjatuh.
"Aw..",ujarku sambil memegangi lutut ku yang lecet.
Darah mengucur dari kaki ku itu.
Aku mengeluh,sakit.
Di sela-sela keluhan ku,aku melihat Alex berhenti.
Ia menghampiriku.
"Sini,aku bantu berdiri.",ujarnya dingin sambil mengulurkan tangan nya.
Aku menepis tangan nya.
Sejujurnya aku tak mau begitu,tapi aku sudah kesal setengah mati di buat nya.
"Tak usah,aku bisa berdiri sendiri. Aku tak butuh bantuan mu.",ucapku tak kalah dinginnya sambil berusaha berdiri.
Alex yang melihat itu membantuku.
Ku kira ia sudah tak peduli.
"Ayolah Alice,biarkan aku membantu mu.",ucapnya lembut.
Aku tersenyum.
Kemudian ia membantu ku berjalan menuju UKS.
Ia mengobati luka ku.
"Perih nya..",aku meringis sakit.
Alex tersenyum.
"Tahan Alice sayang.",ucapnya sambil terus mengobati.
Setelah mengobati luka ku,Alex meminta ijin kepada guru yang ada di sana.
Ia ingin mengantarku pulang.
Guru itu memberi ijin.
Setelah mendapat ijin,ia menggenggam tanganku.
Membantuku berdiri.
Kemudian kami berjalan menuju volvo nya.
Di mobil,kami tidak berbicara.
Alex sibuk menyetir,sementara aku sibuk mengurus luka ku ini.
Sekitar 20 menit,aku sampai di apartemen ku.
Alex membantu ku berjalan dan masuk ke apartemenku.
Ia membaringkan aku di tempat tidurku.
"Istirahatlah Alice.",ucapnya.
Nada dingin kembali ku dengar.
Aku hanya mengangguk.
Kemudian ia pergi tanpa berkata.
Aku sangat menyesali yang ia lakukan.
Mengapa ia mesti bersikap begitu?
Kemudian aku tanpa berpikir,menekan nomor Edward dari ponsel ku.
Aku butuh teman.
Dan sekarang cuma Edward yang bisa menemaniku.
Aku merasa Alex bersikap sangat kejam..
Alex.
Atau Edward?
"Alo?",ucap suara di seberang sana.
Mendengar suaranya,aku tak sanggup.
Aku tak bicara,langsung ku matikan ponselku.
Aku yakin,Edward pasti bingung.
Lalu ku putuskan untuk menghilangkan penat ku dengan mengunjungi café langgananku.
Dengan langkah pelan aku menuju halte bus.
Karena dengan kaki seperti ini aku tak mungkin mengendarai sepedaku.
Sampailah aku di café Thoumieux.
Tempat ini tak pernah berubah.
Selalu dan tetap romantis.
Aku masuk.
Ku lihat tak ada tanda-tanda dari Sherly.
Lalu aku pun duduk di pojok dekat jendela.
Seperti biasa nya aku memesan coklat hangat kepada pelayan di sana.
Dari tempat ku,aku bisa mengamati seluruh café ini.
Ku lihat ada Febrian yang sedang asik memainkan piano dengan lagu classic Richard Clayderman.
Aku terhanyut sampai-sampai pelayan yang mengantar coklat panas ku senyum-senyum melihatku.
Menyadari itu,aku menunduk malu.
Kemudian pelayan itu pergi dan meninggalkan aku.
Aku menenggak coklat panas ku perlahan.
Saat ini hati ku kacau.
Memikirkan Alex yang kejam.
Sekaligus Edward yang tak kalah kejam nya-walaupun sekarang ia berubah-.
Well,aku melanjutkan memandang Febrian yang memainkan piano.
Ia melemparkan pandangan ke arah ku.
Tersenyum.
Menyadari itu aku melemparkan senyuman ku ke arahnya sambil tersipu malu karena ketahuan memandang nya.
Febrian menghentikan permainan nya kemudian berjalan ke arahku.
"Boleh aku duduk di sini?",ujarnya manis.
Aku mengangguk.
Wajah ku memerah.
"Merci.. Ehm,kalau boleh tahu,siapa nama mu?",ucap Febrian lagi.
"Aku Alice. Alice Jefferson.",ucap ku gugup.
Febrian mengangguk tanda mengerti.
Kami mengobrol mengenai hobi kami masing-masing.
Sesekali kami saling memuji.
Di lain waktu kami tertawa lepas bersama.
Menyenangkan bisa berbicara dengan nya.
Aku sedikit lega karena bisa melupakan kegalauan hatiku ini.
"Senang rasanya bisa berkenalan dan mengenal mu lebih jauh Alice Jefferson.",ujarnya tulus sambil tersenyum manis.
Aku mengangguk,"Sama-sama Febrian. Aku senang bisa mengenalmu.",ucapku sambil tersenyum indah.
Aku pun berpamitan padanya,dan ia juga berpamitan karena ingin melanjutkan permainan piano nya itu.
Kami berpisah di depan pintu café Thoumieux.
"Sampai jumpa Al. Jaga dirimu.",ucapnya ramah.
Aku mengangguk,"Bonsoir."
"Bonsoir."
Begitu aku berbalik..
Bruk!
"Aduh,sakit..",aku mengeluh.
Aku menengadahkan kepalaku.
Dan,Alex.
Oh tidak..
Mengapa ia harus berada disini?
"Jadi begini caranya Alice?",ujarnya dingin,"kau tega mempermainkan aku. Kau tidak ada bedanya dengan perempuan bayaran."
Kata-katanya yang terakhir begitu menusuk hatiku.
Aku berusaha menahan emosi.
"Apa maksud mu? Aku tidak melakukan apapun. Biar aku jelaskan.."
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku,Alex pergi.
"Alex,biar aku jelaskan dulu.",teriakku sambil mengejarnya.
Aku tak peduli dengan kaki ku yang luka.
Perih sekali luka ini,tapi aku berusaha menahan nya.
"Alex.."
Aku mencoba mengejarnya tapi..
"Aaaaaaaaaaaaaaahhhhhh!!!!"
Sebuah mobil truk menabrak ku.
Tubuhku serasa melayang di udara.
Seperti di hempaskan ke tanah.
Yang ku terakhir ku lihat,segerombolan orang mengelilingiku.
Seseorang menyebut-nyebut namaku.
Setelah itu,semuanya berubah gelap gulita..

"Alice.."
Samar-samar ku dengar seseorang memanggil namaku.
Perlahan aku membuka mataku.
Gelap.
Ku coba mengedip-ngedipkan mataku.
Gelap.
"Kenapa gelap?",ujarku pelan tapi dengan nada gugup.
"Kau bisa melihatku Alice?",ujar suara itu lembut.
Siapa dia?
"Siapa kau?",ucapku.
"Kau.. Kau tidak mengenalku Alice? Aku Alex..",ucapnya. Oh,Alex rupanya.
"Alex? Aku tidak bisa melihatmu..",ujarku lirih.
Alex mengelus rambutku.
Kemudian,aku mendengar langkah kaki nya keluar.
Memanggil dokter.
Dokter itu memeriksaku.
"Ah,ini cuma kebutaan sementara saja,paling 3 hari ia sudah bisa melihat kembali.",jelas dokter itu pelan.
Dalam hati aku lega sekali.
Aku tersenyum,"Merci."
Kemudian ku dengar dokter itu melangkah keluar.
Tinggalah Alex dan aku berdua.
Ku rasakan ia duduk di sampingku.
"Alice,pardon..",ujarnya sembari menggenggam tanganku,mengecup punggung tanganku.
Aku diam.
Kemudian ku tarik tanganku perlahan.
"Pardon Alex..",ucapku lirih.
"Kenapa Alice?"
"Aku rasa hubungan kita harus berakhir.."
Alex terdiam mendengar kalimatku.
"Kenapa?",tanyanya,suaranya bergetar.
Aku diam,air mataku mengalir.
Tanpa ku sangka-sangka,Alex memelukku.
Air matanya membasahi pipiku.
Aku memeluknya pula.
"Aku sudah letih Alex..",ucapku.
Tapi Alex mempererat pelukan nya seakan tidak ingin melepaskan ku.
Air mataku mengalir lebih deras.
Aku makin mempererat pelukanku.
"Pardon Alex..",ucapku,kemudian aku melepaskan pelukanku,berusaha melepaskan diri tapi tak bisa.
Akhirnya dengan sedikit dorongan,aku berhasil lepas dari peluknya.
"Pardon Alice.",ucap Alex lesu,"Aku tak kuat menerima ini Alice.. Aku tau aku salah,aku jahat padamu. Tapi,apakah tak ada sedikit cinta lagi untukku?",ucap Alex panjang lebar.
"Atau,",ia melanjutkan,"hatimu kembali lagi pada lelaki brengsek itu Alice? Lelaki yang sudah melukai hatimu begitu dalam?",ucapnya kali ini dengan nada marah.
Aku menyeka air mataku.
"Cukup Alex! Aku tidak mau mendengarnya lagi..",aku menarik nafas,"tak sadarkah kau apa yang kau lakukan padaku ini sama dengan yang dilakukan nya padaku? Malahan,kau lebih buruk darinya..",aku menghentikan kata-kataku karena aku tak sanggup lagi menahan sakit ini.
"Alice..",Alex memegang bahuku.
Aku melepaskan nya.
Walaupun aku buta,aku tau apa yang terjadi.
"Pergilah Alex.",ucapku dengan nada rendah.
Alex diam,mengamatiku mungkin.
Kemudian ia beranjak dari ruangan kamar tempat ku berada.
Meninggalkan aku sendiri.
Aku terbaring lemas setelah beradu argumen dengan nya.
Hatiku lelah sekaligus hancur.
Alex kejam sekali padaku.
Sifat cemburunya begitu tinggi.
Dan lagi,ia sangat emosional.
Walaupun Edward juga demikian,aku tetap berfikir Edward lah yang terbaik.
Untuk saat ini aku lebih memilih sendiri.
Aku membenamkan wajahku di balik selimut.
Menutup mataku.
Aku ingin 3 hari ini cepat-cepat berlalu.
Aku ingin bertemu dengan nya,Febrian,Sherly,bahkan Monica.
Dan aku berniat untuk melupakan Alex.
Aku sudah salah menilainya.


Hari ini sudah 3 hari aku dirawat.
Penglihatanku sudah mulai pulih walaupun masih samar-samar.
Hari ini,sepupuku Lauren dan ibuku,Jane datang menjengukku.
Mereka berangkat ke Paris kemarin.
Sejujurnya,aku sedikit merindukan Alex.
Mengenai alasan mengapa aku memutuskan nya akan ku uraikan.
Pertama,aku tak tahan dengan sikap tempramental nya yang tidak bisa dikendalikan.
Kedua,sikap cemburunya sangat menyiksa batinku.
Dan ketiga,ia mencampakkan ku sendirian di saat aku membutuhkan nya.
Dibandingkan dengan Edward,mereka berdua tak ada bedanya.
Edward juga mencampakkan aku,tetapi,ia tidak memiliki sikap tempramental yang tinggi.
Ia bisa mengatur emosinya dengan baik..
"Hai Alice",suara itu terdengar di balik pintu,familiar.
Aku melongo sedikit,oh Lauren dan ibuku.
"Oh,Lauren..",ucapku sambil memeluknya.
Lauren adalah sepupu terdekatku.
Ia anak dari kakak ibuku.
Keluarga ibuku asli orang Prancis.
Dan ayahku orang Cina-Manado.
Well,darah campuran itulah yang membuatku memiliki mata berwarna hijau,kulit berwarna peach,rambut berwarna coklat-keemasan. Dan tinggi badan 173cm.
Setelah memeluk Lauren,aku memeluk ibuku.
"Aku rindu padamu,Bu",ujarku sambil mempererat pelukanku.
"Ibu juga,Sayang",ucap ibuku sembari mengecup keningku.
"Bagaimana kabarmu Alice?",tanya Lauren santai.
"Buruk",jawabku,"kau tidak lihat keadaanku?aku masih belum diijinkan berjalan menggunakan kakiku karena memar,dan untungnya penglihatan ku sudah pulih."
Tawa Lauren pecah melihatku menjelaskan keadaan ku yang well,terlihat sangat menyedihkan dengan raut bersungut-sungut.
Ibuku tersenyum melihat tingkahku yang seperti anak kecil.
Well,tentu saja,aku masih berusia tujuh belas tahun dan September ini aku baru akan merayakan ulang tahunku yang ke 18.
"Mengapa ibu dan kau Lauren menertawakan aku?ada yang lucu?",ucapku ketus.
"Alice,ibu tidak tertawa..",ujar ibuku pelan sambil mengelus pipiku.
Tawa Lauren berhenti,"Maaf Alice..aku tak tahan melihat ekspresimu itu",ucap Lauren memelas.
Tampangku masih ketus.
Tapi aku tak bisa bermarah-marah ria lebih lama.
"Ok,kali ini kau kumaafkan Lauren,".Ucapku,"tapi kalau kau begini lagi akan kupatahkan lehermu",ujarku dengan bercanda.
Aku,ibuku dan Lauren mengobrol panjang.
Meskipun mereka tau tentang Jake,Edward,bahkan Alex ataupun Febrian dan orang-orang terdekatku,mereka tak sedikitpun menyinggung soal itu.
Terutama soal Alex.
Mereka tau aku begini karena Alex-atau lebih tepatnya karena sikap tempramental dan cemburu Alex yang berlebihan.
Well,keluarga tetaplah jadi yang terbaik.
Aku bersyukur ibu dan Lauren bisa datang kesini.
Tiba-tiba pintu kamar di ketuk.
Tok.. Tok.. Tok..
Ibuku membuka pintu.
Dan,
Ternyata yang datang..



Ternyata Febrian.
Aku sama sekali tak menyangka bahwa itu dirinya.
"Hai",sapanya ramah ke arah Lauren.
Lauren tersenyum ramah,"Silahkan masuk."
Ia juga menyapa ibuku dengan sopan.
Ia datang membawakan sebooklet tulip merah.
Cantik sekali.
"Ini untukmu Alice",ujarnya sambil tersenyum.
Lauren dan ibuku saling memandang,kemudian ibuku tersenyum ke arahku.
"Alice sayang,ibu dan Lauren pergi ke luar sebentar ya,kami tidak lama.",ibuku mengecup keningku,tersenyum pada Febrian kemudian menarik lengan Lauren,pergi.
Meninggalkan aku berdua dengan Febrian.
"Merci Feb,tulip adalah bunga favoritku,terutama yang berwarna merah.",aku tersenyum senang.
Ia menatapku dengat tatapan hangat yang menyejukkan,"Aku senang kau suka Alice."
"Bagaimana keadaan mu? Lebih baik?",lanjutnya sambil meletakkan booklet tulip itu di samping ku.
Aku mengangguk,"Aku bosan berada disini,tak bebas rasanya..kau tau."
Ia tertawa ringan.
Aku mencibir,kemudian mencubit lengan nya.
"Au,sakit Alice",ia mengeluh sambil mengelus tangannya.
Aku tertawa,puas.
"Aku senang mengerjaimu Feb",ujarku sambil terkekeh.
Giliran mukanya yang cemberut.
Ia mengalihkan pandangan nya dari ku,menatap jendela.
Aku terus memperhatikan nya sambil tersenyum.
"Hei,mengapa kau tidak mengunjungiku sewaktu aku baru masuk ke rumah sakit ini?",suaraku memecah keheningan.
Ia diam saja,dan itu membuatku kesal.
Ingin sekali aku menendangnya hingga jatuh dari ranjangku.
Tapi,aku tidak berani melakukan nya.
Bukan karena aku takut,tapi karena aku tak mau membuat nya masuk rumah sakit karena melakukan itu.
Sesaat aku tertawa kecil.
Febrian menatapku,bingung.
"Ada apa?",tanyanya heran.
Aku menggeleng,mengunci bibirku.
"Dasar kau",ujarnya sambil mengacak-acak rambutku.
Kami tertawa bersama,hal yang paling menyenangkan.
Bersamanya,sama seperti bersama Edward.
Nyaman sekali bisa bercanda dengan Febrian.
Ia menyenandungkan nyanyian yang lembut sekali.
Suaranya merdu,bagaikan malaikat.
Tanpa ku sadari,mataku terpejam.
Dalam tidurku aku memimpikan nya,Edward dan Alex sekaligus.
Dalam mimpiku,aku sempat berpikir betapa gilanya diriku memimpikan tiga orang sekaligus.
Untung tidak termasuk Jake.
Mimpi yang kurang menyenangkan.
Huh.
Aku merasa malam ini merupakan malam terburukku.
Aku tidak boleh jatuh cinta padanya.

Pagi yang cerah.
Mengingat semalam aku sudah bermimpi buruk,aku berharap hari ini akan jadi hari yang menyenangkan.
Aku mengucek mata ku yang masih tertutup.
Perlahan kubuka mataku.
Febrian.
Ia ketiduran di sofa.
Aku tersenyum melihatnya begitu.
Sepertinya ia begadang semalaman hingga tidak pulang.
Ku lihat tidak ada tanda-tanda Lauren dan ibu di kamarku ini.
"Kemana mereka?"gumamku pada diri sendiri.
Aku senang sekali karena hari ini aku sudah bisa pulang lagi ke apartemenku yang nyaman itu.
Aku sudah 5 hari tidak masuk sekolah,Monica sangat khawatir akan keadaanku,kata ibuku.
Ia tak sempat berkunjung karena banyak PR.
Well,tak apa-apa ku pikir.
Toh,Monica bisa bertemu denganku kapanpun ia mau.
Well,kembali ke ruangan tempatku berada saat ini.
Tatapan ku masih ke arah Febrian.
Ugh,wajahnya menawan sekali.
Aku segera berpaling ketika ia mulai terbangun.
Aku pura-pura melihat telepon genggamku.
"Alice?kau sudah bangun?",nada letih terdengar dari suaranya.
Ia menguap.
Aku tertawa kecil,"Tentu saja aku sudah bangun,kalau aku masih tidur kau tak akan mendengarku bicara."
Ia tertawa ringan.
Kemudian ia bangkit dari sofa,menuju kamar mandi untuk mencuci muka.
Sesaat,ia sudah kembali lagi.
"Kemana Lauren dan ibuku?",tanyaku.
Ia menggeleng,"Aku tak tahu,yang pasti semalam Lauren meninggalkan pesan",ia berdeham,"Lauren bilang,ia dan ibumu akan pergi ke apartemen mu,mungkin menginap disana ku pikir."
Aku mengangguk-angguk.
"Ayo,kita mesti siap-siap untuk pulang Alice",ia menarik lenganku pelan,"kau tidak mau berlama-lama disini bukan?"
Febrian nyengir.
Aku menurut,perlahan ku turunkan kaki ku yang masih memar dan mengangkat tubuh yang masih terasa nyeri.
"Kau tidak apa-apa Alice?",ucapnya lembut sambil membantu ku berdiri.
Aku tersenyum lemah,"Kurasa kaki ku tak bisa berkompromi."
Dengan segera,setelah mendudukkan aku di ranjang,ia memanggil suster.
Meminta kursi roda.
Ugh,aku benci keadaan ini.
Keadaan seperti ini seolah-olah membuatku seperti orang bodoh.
"Nah,Alice.. Naiklah",ucapnya.
Aku menggeleng.
Ia tampak bingung,"Mengapa?aku tak mau kaki mu mengalami hal yang lebih buruk kalau kau memilih untuk berjalan",ia memberi tekanan pada kata buruk.
Aku bergidik,dan akhirnya menurut.
Ia membawakan tasku di bahunya,dan mendorong kursi roda itu hingga sampai di mobilnya.
Perlahan,ia mengangkatku dari kursi rodaku,mendudukkan ku di jok mobilnya.
Aku lega saat-saat menggunakan kursi roda sudah selesai.
Di perjalanan kami tak banyak bicara.
Kebanyakan hanya diam saja.
20 menit kemudian,kami tiba di apartemenku.
Ia membopongku naik hingga sampai ke apartemenku.
Di dalam,rupanya sudah ada ibu dan Lauren.
Mereka merapikan apartemenku ternyata.
Mereka menyambut kami dengan antusias.
"Selamat datang Alice",ucap ibuku dan Lauren serentak. Ku dengar nada gembira dari suara mereka.
Kemudian,mereka memeluk ku erat.
Melupakan kehadiran Febrian sejenak,kemudian baru kembali ke alam sadar mereka.
"Ups,maaf Nak.. Kami kelepasan",ucap ibuku malu.
Febrian tersenyum,"Tak apa Ma'am.",lanjutnya,"aku tidak berlama-lama disini."
Aku kaget,"Kau mau kemana?"
"Begini Alice,ku harap kau bisa datang menyaksikan ku berduet..",ia berhenti sejenak,aku masih belum mendapat poin nya,"aku mendapat kesempatan konser piano malam ini Alice."
"Dan,aku akan berduet dengan Sherly,ia memainkan biola. Jadi ku harap kau bisa datang.",pintanya.
Aku tersenyum senang,"Baiklah,aku akan datang,untukmu dan Sherly tentunya."
Aku sebenarnya agak terkejut mendengar Sherly bisa bermain biola,tapi,aku tidak memusingkan nya.
Sepertinya Febrian senang mendengar aku akan datang.
"Kau juga boleh mengajak ibu dan saudaramu Al.",bisiknya.
Aku mengangguk,tertawa.
"Ok,merci Feb.. Atas undangan nya",ucapku ringan.
"Tidak masalah",jawabnya pelan.
Kemudian ia berpamitan padaku,ibu dan Lauren.
Aku melambaikan tangan padanya.
Dalam hati aku sangat senang bisa melepas kepenatanku.
Malam ini akan menyenangkan.

Malam ini,aku pergi ke konser Febrian dan Sherly.
Aku mengenakan dress berwarna biru tua dengan cardigan panjang berwarna hitam selengan.
Rambutku di gerai,menggunakan bando berwarna perak.
Aku mengenakan high heels berwarna gold karena acara ini termasuk acara resmi.
Aku pergi dengan Lauren,ibuku.
Tadinya aku ingin Monica ikut,tetapi ia bilang tak bisa,"Pardon Alice,aku ada urusan penting malam ini.",begitu katanya di telpon tadi sore.
Aku mengiyakan.
"Sudah siap Alice?",tanya ibuku.
Aku mengangguk.
"Kau cantik,parfait Alice",Lauren memujiku.
Pipiku merona merah,aku hanya tersenyum manis.
Kemudian,kami pun pergi.
Sesampainya di Le Vieux Bistro,aku,ibuku serta Lauren langsung menuju ke barisan depan.
Restoran itu ditata layaknya tempat konser sungguhan.
Panggung yang ada di restoran itu di hias sehingga tampak elegan.
Parfait.
Aku,ibuku dan Lauren pun segera duduk.
Undangan VIP yang diberi Febrian ku serahkan pada receptionist di depan tadi.
Mataku berkeliling menjelajahi seluruh ruangan sementara Lauren dan ibu asyik mengobrol.
Dari tempat ku tampak jelas sekali panggung itu.
Dengan latar belakang hitam dengan glitter dan karpet maroon menghiasi lantai,restauran ini makin terlihat elegan.
Dari belakang ku dengar tapak kaki seseorang.
"Bonsoir Madame Jefferson,Lauren dan Alice",suara itu lembut sekali.
Febrian.
Wow,ia tampak menawan dengan setelan jas Giorgio Armani dan sepatu St Laurent.
"Bonsoir Fe-bri-an",ibuku agak susah menyebut namanya,mungkin karena saking takjubnya sehingga ia memenggal-menggal suku katanya.
Aku terkekeh mendengar ibuku berkata dengan gugup,baru kali ini ia yang gugup ketika harus berhadapan dengan teman lelakiku yang tampan ini.
Lauren menganga mengagumi ketampanan nya,well,sebenarnya aku juga.
Tapi,setelah sekian lama dekat dengan nya,menurutku,Febrian jadi biasa saja.
"Well,kau sukses membuat ibu dan Lauren terperangah",ujarku sambil tertawa pelan.
Ia menggeleng,"Aku gagal membuatmu kagum.",ia tertawa.
Sepertinya Lauren dan ibu sudah sadar dari mimpi mereka.
Mereka pun mengalihkan pandangan dari Febrian.
"Ah,aku permisi dulu.. Aku harus bersiap",Febrian berpamitan padaku,ibu dan Lauren.
Aku mengangguk sementara ibu dan Lauren kaku melihat Febrian pergi.
Well,aku membiarkan mereka.
Kemudian konser pun di mulai.
Pertama,Febrian bermain piano solo dengan lagu Mozart,symphony no.4.
Kemudian dilanjutkan permainan biola Sherly secara solo.
Di tengah konser itu,pandanganku terusik.
Ada sesuatu yang mengganjal pemandanganku.
Alex.
Ugh,mengapa aku harus melihatnya?
Aku mengalihkan pandanganku.
Tapi aku merasa ia menatap ke arahku terus.
Perasaanku tidak enak,aku merasa seperti akan ada sesuatu.
Aku berusaha membuyarkan pikiran ku,tapi tidak bisa.
Ku tatap ibu dan Lauren yang asik memperhatikan Sherly dan Febrian berduet.
Aku menatap Sherly dan Febrian.
Pikiran ku sungguh-sungguh terganggu dengan kehadirannya.
Aku bingung darimana ia tahu aku ada disini?
Oh Tuhan,ternyata yang ku rasakan benar.
Sebuah peluru melesat dengan cepat.
Bunyi tembakan terdengar begitu keras menggema di seluruh ruangan.
Peluru menembus di dada lelaki itu.
Semua orang panik,ada yang melarikan diri,ada yang menolong dan ada pula yang bersembunyi.
Sementara itu,pandanganku masih terarah pada korban.
Tubuhnya bersimbah darah sementara aku menatapnya kaku.
Aku tak menyangka kalau itu dia..

Tubuhku masih kaku.
Mataku tidak berkedip sedikitpun.
Bulu kudukku meremang.
Aku benar-benar tak percaya akan apa yang aku lihat,aku curiga pada penglihatanku sendiri.
Tubuhnya telah bersimbah darah,tergeletak di kerumunan orang banyak.
Ku lihat sang tersangka gemetaran memegang senjatanya.
Ia tak bergerak,diam,kaku,gemetaran,berkeringat dingin dan gugup.
Alex.
Sungguh tak kusangka dan sulit dipercaya ia akan berbuat demikian kejinya pada orang-orang di sekitarku.
Tapi pandangan ku kembali pada si korban,Edward Luke.
Aku benar-benar tak percaya itu dia.
Aku bingung mengapa ia yang tertembak padahal peluru itu mengarah pada Febrian?
Aku segera beranjak dari tempat dudukku,menghilangkan semua ketakutanku,berusaha menguatkan diriku untuk kemungkinan yang terburuk.
Aku menerobos kerumunan orang itu,kemudian ku dekap Edward erat-erat.
Air mataku mengalir deras melihat tubuhnya bersimbah darah,tergolek lemas di pelukan ku.
Aku segera memanggil Febrian,kemudian aku,ia,ibuku,Lauren serta Sherly menuju rumah sakit yang terdekat.
"Kau kuat Edward,bertahanlah..",ucapku sambil menahan lukanya di mobil.
Edward tidak menjawab,ia lemah tak berdaya.
Sesampainya di rumah sakit aku segera memanggil dokter,seketika Edward langsung di bawa ke ICU.
Aku gemetaran,gelisah sekali.
Aku tidak memperhatikan sekitarku lagi,bahkan si tersangka pun tidak ku pedulikan lagi.
Yang kupikirkan saat ini hanya Edward dan nyawanya.
Ku lirik Febrian sekilas,ia sedang menenangkan Sherly dalam pelukan nya.
Sempat terbesit luka di hatiku melihat itu,tapi ku abaikan itu semua.
Ku tatap ibuku dan Lauren,mereka terlihat letih,ibuku mendekati ku,"Sabar Alice sayang,Edward orang yang kuat.. Ia bisa melewati ini",ibuku berusaha menenangkan.
Aku mengangguk lesu.
Aku sangat khawatir dengan keadaan nya,jauh di dasar hatiku aku masih sangat mencintainya melebihi apapun.
2 jam berlalu dan masih belum ada kabar dari dokter.
Ku lihat Lauren dan ibu sudah makin letih,ku suruh mereka pulang.
Awalnya ibuku tak mau,tapi setelah ku paksa akhirnya mau juga.
Mereka pulang diantar Febrian.
Jadi,karena Sherly ikut,aku sendirian di rumah sakit ini.
Detik demi detik,menit demi menit berlalu.
"Ada yang bernama Alice?",ucap seorang dokter.
Aku terkejut,"Saya,dok."
Dokter bernama Carlyle itu tersenyum,"Silahkan masuk ke dalam,pasien mau menemui anda."
Aku pun masuk ke ruang ICU itu.
Ku lihat Edward dibalut perban di dada kanan nya hingga sebatas perut.
Matanya terpejam tapi tidak menghilangkan ketampanan nya yang alami itu.
Aku duduk di sampingnya,menggenggam tangan nya erat-erat.
Ku lihat matanya terbuka,matanya yang berwarna biru itu memancarkan sinar kebahagiaan.
"Al.. Alice.. Kau disini..",ucap nya terbata-bata tapi lembut sekali.
Aku menempelkan telunjuk ku di bibirnya.
"Jangan banyak bicara,Edward."
Edward mengangguk pelan,kemudian aku mengecup dahinya lembut.
Ia tersenyum indah.
Aku menyanyikan sebuah lagu untuknya.
We could be in love dari Lea Salonga.
Ku lihat,Edward perlahan menutup matanya.
Ia tersenyum indah di dalam tidurnya.
Aku masih terus bernyanyi hingga aku ikut tertidur.


"Anyone who see us knows what's going on between us.
It doesn't take a genius to read between the lines.
Oh and it's not just wishful thinking or only me who's dreaming,I know what these are symptoms of,

We could be in love..."

"Hoaaaaamzz.."
Aku menguap pelan agar tidak membangunkan Edward.
Tanganku masih menggenggam sebelah tangannya erat.
Ku lihat wajahnya yang luar biasa tampan itu,mengaguminya.
Edward merupakan makhluk tertampan di dunia ini bagiku.
Hidungnya yang mancung,mata yang besar,bibir yang indah berwarna pink kemerah-merahan.
Kulitnya bak porselen,berwarna beige,mulus sekali tanpa cela.
Aku terus menatapnya hingga aku tak sadar ada perawat yang masuk diikuti 2 orang polisi serta Ibuku dan Lauren.
"Bonjour,maaf.. Pasien akan saya periksa sebentar,bisa anda pindah ke sofa? Untuk sementara saja.",ucap perawat itu lembut sambil tersenyum.
Aku membalas senyum nya,kemudian ku lepaskan genggaman tanganku darinya dan beranjak ke sofa merah di sudut ruangan.
Ibuku dan Lauren duduk di sampingku.
Aku masih heran mengapa polisi-polisi itu disini.
Seperti menjawab keheranan ku,seorang polisi membuka suara,"Anda yang bernama Alice Jefferson?"
Aku mengangguk,masih bingung.
"Ah,mengenai kasus teman anda itu,kami sudah menangani nya.",jelasnya,"kami sudah menangkap tersangkanya,sebenarnya bukan menangkap,tapi ia yang menyerahkan diri lebih tepatnya."
Alex menyerahkan diri?pikirku,rasanya belum masuk akal penjelasan dari polisi ini.
"Mm,untuk lebih jelasnya silahkan ke kantor kami saja.",ucap polisi tadi sopan.
Aku mengangguk,kemudian kedua polisi itu berpamitan,lalu keluar.
Perawat juga telah selesai memeriksa Edward,ia meninggalkan kami setelah nya.
Aku kembali ke dekat Edward,menggenggam tangan nya lagi dengan sangat erat.
Aku ingin terus bersamanya,sampai kapanpun.
"Masih belum mau bangun?",ujarku pelan pada Edward,aku tersenyum.
Aku mengecup keningnya lembut,mengelus pipinya yang mulus bak porselen itu.
Tiba-tiba kedua matanya membuka perlahan.
Ia memanggil namaku hingga nyaris tak terdengar,suaranya pelan sekali.
"Edward..",ucapku tak kalah pelan.
Ia tersenyum tenang.
"Kata suster,kau boleh pulang besok.",jelasku,"keadaan mu sudah mulai membaik Ed."
Ia mengangguk pelan sembari tersenyum.
Senyum nya indah sekali,sangat indah bahkan terlalu indah sampai-sampai aku tak mampu memalingkan pandanganku darinya.
"Mengapa kau melihatku begitu Al?",tanyanya lembut.
Aku menggeleng,tertawa ringan,"Tidak apa-apa Edward."
Aku tidak menyadari ibuku dan Lauren mengamati kami dari sofa tempat mereka duduk sampai mereka berdeham cukup kencang.
"Ehmm,sepertinya kita menganggu mereka Lauren.. Sebaiknya kita pergi.",ucap ibuku sambil tertawa kecil.
Lauren mengangguk,"Kami tak akan mengganggumu Alice,nikmati waktumu dengan nya.",jelasnya lembut.
Kemudian mereka pergi meninggalkan kami berdua lagi.
Edward membalas menggenggam tanganku.
"Boleh aku minta ijin untuk melakukan sesuatu?",tanyanya sambil menatap mataku.
Aku menatapnya bingung,"Apa? Kau mau melakukan apa Edward?"
Ia menghela nafas,"Aku ingin menyanyi untukmu,lagu buatan ku sendiri,untuk orang yang ku cintai. Kau mau dengar?"
Deg.
Jantungku berdebar kencang. Aku mengangguk cepat,aku penasaran lagu apa yang diciptakan nya.
Kemudian ia mulai bernyanyi,suaranya mengalun lembut bagaikan melodi tuts-tuts piano yang di mainkan dengan sangat sempurna.





"Beautiful girl,wherever you are
I knew when I saw you,you had opened the door
I know that I'd love again after a long,long while
I'd love again
You said 'hello' and I turned to go
But something in your eyes left my heart beating so
I just knew that I'd love again after a long,long while
I'd love again.."

Hari ini Edward keluar dari rumah sakit.
Rencananya,aku,Febrian dan Edward akan ke kantor polisi bersama dengan ibuku dan Lauren.
Febrian yang menjemput kami dari rumah sakit.
"Sudah siap?",tanyanya padaku.
Aku mengangguk sambil merangkul pinggang Edward.
Aku tahu ini menyakitkan buatnya,hingga ia tak mau melihat ku atau pun Edward.
Kami pun bergegas menuju mobil Febrian setelah membayar uang rumah sakit selama 3 hari ini.
Kondisi Edward sudah mulai membaik,ia sudah bisa bernafas dengan baik,dan hampir bisa dibilang tidak memiliki trauma lagi.
"Aku senang kau sudah kembali menjadi Edward-ku",ucapku ketika kami melangkah ke mobil Febrian pelan.
Ia tertawa pelan,"Benarkah?"
Aku mengangguk,mengiyakan sambil tersenyum,"Tentu saja benar."
Lalu kami masuk ke mobil Febrian. Ibuku duduk di depan,sedangkan aku,Edward dan Lauren duduk di belakang.
Ibuku terlihat asik mengobrol dengan Febrian sementara kami yang di belakang hanya diam,sesekali Lauren ikut mengobrol dengan mereka,tapi aku dan Edward kebanyakan hanya diam.
Sesampainya di apartemenku,Febrian turun,dan ikut masuk. Ia menggandeng tanganku yang merangkul pinggang Edward hingga aku nyaris jatuh. Edward terkejut dengan tindakan nya itu. Tapi ia diam saja.
Aku tak bisa melepaskan tanganku dari genggaman nya karena genggaman nya sangat kuat.
Akhirnya aku menyerah dan membiarkan nya menggenggam tanganku yang terasa kecil sekali dalam genggaman nya.
Well,aku hanya melirik ke arah Edward yang di bantu ibuku sesekali.
Aku melihatnya menolak bantuan dari ibuku. Wajahnya muram,seakan melihat sesuatu yang menyakitkan. Well,memang menyakitkan kurasa. Febrian,menyadari bahwa pandanganku mengarah pada Edward. Tanpa banyak bicara,ia melepaskan genggaman nya. Ia hanya berkata,"Masuklah". Aku mengangguk mengerti karena kami telah tiba di depan apartemenku. Edward menuju apartemen nya,sementara aku ke apartemenku.

3 hari sesudah kepulangan Edward,kami mendapat kabar bahwa Alex meninggal. Ia ditemukan tergeletak dengan mulut berbusa di sel nya. Dugaan dari polisi ia over dosis. Dari penyelidikan,ditemukan kandungan morfin yang berlebihan pada darahnya. Morfin adalah obat penenang. Well,aku sedikit ngeri karena kau tahu,di sel nya-tepatnya di dinding sel nya-terdapat foto-foto diriku. Malahan,polisi di sana berkata ketika mendapati Alex meninggal,ia sedang menggenggam sebuah surat. Untukku. Polisi itu menanyakan padaku lewat telpon apakah aku mau mengambilnya atau tidak. Kuputuskan untuk tidak mengambilnya. Bagiku,Alex hanyalah masa lalu ku yang kelam. Menurut polisi,Alex menderita kelainan jiwa. Well,kalau begitu sudah jelas alasan mengapa ia mau menembak Febrian. Ia sakit. Jiwanya. Well,aku sedikit bersyukur karena cuma sesaat menjalani hubungan dengannya.

Sudah 3 hari ini aku tidak mendengar kabar dari Febrian. Ia tidak menelpon,mengirimkan pesan,email,ataupun datang ke apartemenku. Ku pikir,ia pasti sìbuk dengan kegiatan nya. Lagipula,dia bukan siapa-siapa. Ia hanya teman. Teman baik,kurasa. Well,hari-hariku lebih banyak ku habiskan dengan Edward. Selain sibuk dengan kegiatan sekolah,aku juga sibuk bekerja paruh waktu sebagai pelayan cafe. Gaji nya lumayan,75 euro per jam. Ibuku dan Lauren pulang ke Indonesia kemarin. Mereka lega Edward sudah pulih,dengan begitu mereka sudah bisa pulang ke Jakarta dengan tenang.

Hari ini,aku dan Edward bermaksud untuk berbelanja keperluan rumah-apartemen tepatnya-. Aku sedang berada di apartemen nya ketika seorang tukang pos mengantar kan sebuah surat. Undangan. "Bonjour,disini tempat tinggal Monsieur Edward Luke?",tanyanya. Aku mengangguk. Kemudian,tukang pos itu memberikan undangan nya.
Dan setelah ku buka,aku shock sekali melihatnya..

Surat itu undangan. Benar-benar mimpi buruk ku yang menjadi kenyataan. Aku terkulai lemas di sofa milik Edward. Tanganku menggenggam undangan itu dengan kuat. Air mataku mengalir seperti sungai. Edward sedang berada di kamar mandi ketika itu. Aku berusaha menahan air mataku agar Edward tak melihatnya.

Undangan itu adalah undangan pertunangan antara Febrian dan Sherly. Pertunangan itu dilaksanakan hari Sabtu ini di hotel paling mewah di Paris. Melihat undangan itu,hatiku sakit. Aku merasa seperti dibohongi selama ini. Aku merasa mereka mempermainkan aku. "Memangnya mereka pikir aku tak punya perasaan?"batinku.
Edward keluar dari balik pintu kamarnya. Ia melihatku,mataku tepatnya. "Alice,kenapa kau? Kau habis menangis?"tanyanya sembari duduk di sampingku,merangkul ku. Aku menggeleng,tetapi air mataku jatuh lagi. Edward mengusap air mataku dengan tangan nya. Wajahku serasa di sentuh salju,menyejukkan sekali. "Alice",katanya,"kau jelek kalau menangis. Berhentilah menangis Al".
Well,aku sedikit terhibur karenanya. Aku senang masih ada Edward-mantan kekasihku yang dulu kejam-disini,disampingku,menghiburku,"Kalau kau tidak mau datang,kita tak akan ada disana Alice. Masih ada waktu 1 minggu. Berpikirlah yang baik Alice",ucap Edward lembut sambil mengusap rambutku. Aku menatap matanya lekat-lekat. "Aku rasa,aku akan datang. Maksudku,kita akan datang". Aku agak aneh menggunakan istilah 'kita' dalam hal ini,tak tau mengapa. Edward menghela nafas,"Well.. Baiklah kalau begitu. Tapi ingat,kau masih bisa berubah pikiran Al. Masih ada waktu",jelasnya. Aku mengangguk sambil tersenyum.

Keesokan harinya,aku dan Edward pergi berbelanja di salah satu departemen store di Paris. Aku tertarik dengan sebuah tas buatan Louis Vuitton berwarna beige yang simple sekali. "Edward,kemari",panggilku. Edward segera ke tempatku,"Apa Alice?",tanyanya. Aku menunjuk tas itu,"Bagus tidak?". Edward terlihat berpikir. "Bagus,berapa harganya Alice?",tanyanya padaku. Aku mencari label harganya. Dan,wow. Harga yang tertulis di label itu 1750 euro. Bayangkan kalau itu di rupiahkan! "Well,kau lihat sendiri Ed,tas itu sangat mahal. Lebih baik kita ke tempat lain saja. Ayo",ucapku sambil menarik lengan nya. Tetapi Edward masih melirik tas itu,dan aku tahu.

Kemudian kami berjalan ke arah food area yang terdapat di mall ini. Kami duduk disana dan memesan makanan. "Dua fish mozarella dan dua cappucino",pesan nya. Aku mengikut saja apa yang ia pesan karena yang ia pesan pasti enak. "Baiklah",kata pelayan itu,"merci". Edward mengangguk kecil dan tersenyum ke arah pelayan itu. Kemudian pelayan itu pergi meninggalkan kami.
"Alice",Edward memulai. "Hm?",tanyaku bingung. Ia mengenggam tanganku. "Alice,jika ada waktu,maukah kau makan malam denganku lain kali?",Edward terlihat gugup. Aku tertawa ringan,"Tentu saja aku mau Edward",jawabku. Edward sumringah,ia terlihat seperti anak kecil yang baru dibelikan robot-robotan terbaru. Aku tertawa kecil melihatnya. Edward,Edward.

Kamipun pulang ke apartemen kami. Langkah kami terhenti ketika sebuah mobil Ferrari berwarna merah berhenti di depan kami. Wow. Seseorang turun dari mobil itu. Sherly. Ia berjalan ke arahku. "Hai Alice. Dan.. Hai juga Edward",sapanya. Aku cuma tersenyum kecil,"Ehm",lanjutnya,"bisa kita bicara berdua saja Alice? Hanya sebentar". "Oh,boleh. Tentu saja",jawabku,"tapi aku akan menaruh kantong belanjaanku dulu". Tiba-tiba Edward berkata,"Biar aku yang bawa". Dingin sekali nada bicaranya. Kemudian ia mengambil belanjaanku dan pergi meninggalkan kami.

"Jadi,apa mau mu sekarang Sherly?",ucapku,"Well",katanya,"aku hanya ingin memastikan kau sudah menerima undangan itu Alice. Karena,aku dan Febrian tidak akan senang jika kau tak datang". Aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Aku hanya menghela nafas. "Bagaimana? Kau pasti datang kan Alice?"ia begitu antusias. "Hmm..",aku berpikir,"aku pasti datang. Tenang saja". Sherly tersenyum lebar. "Merci Alice. Merci. Baiklah kalau begitu aku permisi dulu ya. Bonsoir Alice". "Ok,tidak masalah. Bonsoir Sherly",jawabku.

Kemudian ku langkahkan kaki ku menuju apartemen ku.
Aku membuka pintu apartemen ku. Aku terkejut melihat Edward sedang duduk di sofa merahku.
"Dia sudah pergi?"tanyanya seperti polisi yang mengintrograsi. Aku mengangguk,"Sudah. Dia ingin kita datang Sabtu depan ke acara itu". Edward mengangguk,"Kau mau datang?",aku berpikir untuk menjawabnya,"Mungkin aku akan datang". Edward tersenyum. Kemudian ia beranjak dari sofa ku,"Bonsoir Alice",ia mengecup keningku lembut. "Bonsoir Edward".

Sabtu ini bisa jadi hari yang paling tidak ku inginkan. Pertama,aku harus pergi ke pertunangan Febrian dan Sherly. Kedua,aku pergi dengan Edward,ke sana. Dan ke tiga,aku harus tersenyum sepanjang malam di pesta itu.
Ternyata ada juga hari yang tidak mengenakan seperti itu. Manusia memang sulit menerima hal yang menyakitkan. Well,aku sedikit lega sebenarnya dengan adanya Edward. Tetapi,jujur,aku benar-benar tak ingin pergi. Karena kau tahu kan,undangan itu sebenarnya ditujukan padanya,bukan padaku. Tapi,karena Sherly meminta,aku datang.

Kami sampai di Hilton Hotel Paris pukul 06.00 p.m. Aku mengenakan dress berwarna peach. High heels berwarna senada. Dan,tas pemberian Edward yang ku lihat di depstore itu dengan warna beige. Aku sama sekali tak menyangka ia membelikan itu untukku. Rambutku ku gerai saja saat ini karena panjangnya sudah mencapai punggungku. Edward tampak tampan sekali dengan setelan jas berwarna peach juga dengan dasi berwarna hitam. Ia mengenakan sepatu berwarna hitam buatan Yves St. Laurent yang terbaru. Ia bagaikan pangeran di negeri dongeng. Jas itu sangat pas di badan nya. Parfait.
Kami masuk ke hall Hilton Hotel itu. Menurutku,kami tampak seperti mempelai pengantin nya saja. Aku tertawa kecil membayangkan itu. Dan Edward tahu aku tertawa. "Alice,apa yang kau pikirkan?"tanyanya. "Tidak ada Edward",jawabku pura-pura polos. Edward mencubit tanganku,"Jangan nakal,mengerti?". Aku membalasnya,"Oui Monsieur Edward". Kami tertawa kecil,kemudian duduk di kursi yang telah disediakan.
Ruangan ini telah di desain sempurna. Nuansa warna putih dan gold menghiasi ruangan ini. Bunga lily berwarna merah menghiasi tiap meja dan sudut-sudut ruangan. Sangat indah. Lantainya di lapisi karpet berwarna coklat membuat ruangan itu makin indah.
Edward memperhatikan aku yang terkagum-kagum dengan ruangan tempat kami berada saat ini. "Kau tahu",katanya,"ini tidak akan jadi pesta pertunangan impianku. Ruangan ini kurang elegan menurutku". Aku menatapnya,"Oh ya?" dan ia mengangguk.
Tak lama kemudian,Febrian,Sherly,serta keluarga kedua belah pihak memasuki ruangan ini. Sherly tampak cantik dengan balutan dress berwarna gold yang backless ala Dolce Gabbana dan high heels senada. Sementara Febrian juga mengenakan setelan jas berwarna senada dengan perancang yang sama. Mereka sangat serasi menurutku.
Kemudian acara di mulai dengan pidato dari ayah Febrian. Dilanjutkan dengan nyanyian,kemudian dansa. Aku dan Edward menikmati pesta ini ternyata. Kami ikut berdansa bersama para undangan dan kedua calon pengantin itu. Setelah dansa,acara dilanjutkan dengan pertukaran cincin. Setelah seluruh rangkaian acara selesai para tamu pun pulang. Sementara aku dan Edward masih tinggal di sana.
"Alice,Edward,kemarilah",panggil Febrian,"kami mau memberitahu kalian sesuatu". Aku bingung apa yang dikatakan Febrian. "Apa maksudmu?"tanya Edward. "Kami akan menikah hari Rabu depan di London. Dan aku hanya memberitahu pada kalian. Aku mengundang kalian,jika kalian mau datang. Aku juga menyediakan tiket pulang-pergi dan hotel",jelas Febrian. Aku melongo sedikit. Edward melihat itu,kemudian ia menjawab lagi,"Ehm,Febrian,biar kami pikirkan lagi. Alice sudah terlalu lelah. Kami harus pulang". Febrian terlihat kecewa,"Baiklah Edward,bonsoir. Merci karena telah datang". Aku tersenyum,"Sama-sama Febrian. Merci,karena telah mengundang kami. Salam untuk semua. Bonsoir".
Kemudian kami beranjak dari tempat itu menuju apartemen kami. "Kau mau datang ke pernikahan mereka?",suara Edward memecah keheningan. Aku menggeleng,"Tidak akan Edward",aku tersenyum,"aku sudah letih melihat mereka. Itu akan menyakitkan. Lebih menyakitkan malahan,melihat mereka berciuman di depan altar. Aku harus bahagia Edward". Edward tersenyum,"Tentu saja Alice,kau memang harus bahagia",ia mengelus pipiku,"bagaimana kalau kita pergi besok? Aku mau bicara padamu Alice". Aku menghela nafas,tersenyum,"Baiklah."









E.N.D


EPILOG

"Aku segera kesana sayang,tunggu aku",aku menutup telepon genggam ku. Kemudian menuju ke gereja dengan ayah dan ibuku serta Lauren.
5 tahun yang lalu,setelah pernikahan Febrian dan Sherly,aku dan Edward memulai hubungan yang baru. "Je t'aime Alice,maukah kau kembali lagi padaku?" aku mengingat perkataan nya ketika itu. Dan aku langsung menjawab 'Iya'. Dan mulai saat itu,kami menjalani hubungan hingga saat ini.

Aku turun dari mobilku didampingi keluargaku. "Kau cantik Alice",ucap Lauren. Aku tersenyum,"Merci".
Kemudian kami memasuki gereja itu.
Disana,sudah ada seorang pria yang menungguku. Di depan altar. Ia nampak seperti malaikat yang turun dari surga. Tampan sekali.
Aku berjalan didampingi ayahku menuju altar. Pria itu menyambutku dengan gembira. Aku pun menyambutnya dengan gembira. "Parfait Alice",ucapnya. Aku tersenyum,"Merci,kau juga. Parfait".
Kemudian pastor datang,mengucapkan kata-kata sakral yang mengikat 2 orang dalam ikatan yang bernama pernikahan. Janji sehidup-semati telah kami ucapkan. Sekarang,kami sah menjadi sepasang suami istri. Edward,suami yang pas untukku.
Terima kasih Tuhan karena Engkau telah memberi aku hal yang terindah ini.
Kemudian,Edward mencium bibirku dengan lembut.
Aku harap pernikahan ini akan abadi,selamanya.





ABOUT THE WRITTER ( MICHELLE WENDY )

No comments:

Post a Comment